Fakta bahwa kita mampu mencerap ruang dan
memahami bentuk-bentuk geometri memunculkan sejarah mengenai bagaimana
manusia merasakan bentuk jagad raya. Pada awalnya, manusia memandang
kalau Bumi kita datar. Baru kemudian para pemikir Yunani, salah satunya
Erastothenes, membuktikan kalau Bumi berbentuk bulat.
Sejak
zaman Euklid hingga seabad lalu, ada pemahaman kalau jagad raya kita
berbentuk ruang Euklid berdimensi tiga. Penemuan-penemuan fisika klasik
dirumuskan dalam ruang dimensi tiga seperti medan listrik dan medan
magnet. Gagasan ini berubah drastis ketika Einstein mengajukan teori
relativitasnya. Jagad raya kita tidak lagi dipandang ruang berdimensi
tiga tetapi ruang berdimensi empat (dengan menjadikan waktu sebagai satu
dimensi baru). Struktur matematis yang mewakilinya sekarang adalah
manifold pseudo-Riemann berdimensi 3+1 dengan medan tensor.
Konsekuensinya fatalistik, alam semesta dalam ruang maupun waktu telah
ditentukan. Masa depan telah ada, hanya kita belum merasakannya. Tetapi,
gagasan inipun digugurkan dalam waktu singkat dalam perkembangan
mekanika kuantum. Perilaku atom yang membingungkan membawa pada konsepsi
struktur jagad raya baru yang disebut aljabar medan bernilai-operator.
Lagi-lagi, struktur jagad raya semacam ini ditentang oleh perkembangan
teori penguapan lubang hitam yang digagas oleh Hawking (Tegmark, 2007).
Hingga sekarang, para ilmuan masih mencari-cari bentuk matematis
sesungguhnya dari jagad raya kita. Perkembangan ini sejalan pula dengan
perkembangan untuk mencari teori segalanya (Theory of Everything).
Pelajaran
yang dapat diambil dari perkembangan sejarah sains di atas cukup
ironis: sains semakin menggerus eksistensialisme hingga tak berbekas.
Dalam ruang dimensi tiga fisika klasik, individu terdefinisi dengan
baik. Masing-masing kita adalah individu yang unik, punya koordinat
dalam ruang yang jelas. Dalam manifold pseudo-Riemann eksistensi ini
diragukan. Kita tak lagi sebuah bintik padat tetapi hanya sebuah garis
dunia yang tergores dalam sumbu ruang-waktu. Sebuah garis bukanlah
sesuatu yang unik. Ambil selembar kertas, ada tak terhitung garis dapat
anda tarik di kertas tersebut. Pembatas antar garis tidak ada karena
jika ada, maka kita dapat membuat garis baru di antara kedua garis
tersebut. Hal ini dapat dilakukan ad infinitum. Itu mengapa
saya menyebutnya menggerus habis eksistensialisme. Dan eksistensialisme
yang telah tergerus tersebut akhirnya tertiup angin dan lenyap ketika
fisika kuantum bicara tentang multijagad tingkat 3. Setiap garis ini
hanyalah satu dari tak terhingga garis eksistensi diri kita. Bagaimana
anda bisa bicara inilah saya ketika ada tak terhingga anda yang seratus
persen sama dalam jagad raya tak terbatas?
Perkembangan
sains di atas menunjukkan kalau pemahaman kita tentang jagad raya
semakin abstrak. Bukan abstrak seperti kata-kata sastra tentang
perasaan, tetapi abstrak dalam artian begitu ketatnya, sebuah
matematika. Hal ini sangat deterministik dan membangkitkan roh Pitagoras
yang tidur di masa Yunani Kuno. Dahulu ketika para filsuf bicara alam
tersusun dari unsur air, api, udara, dan tanah, Pitagoras malah
mengatakan kalau alam tersusun dari unsur matematis yaitu bilangan-bilangan.
Di masa kini, sains bicara pula kalau alam tersusun dari hukum-hukum
matematis. Efektivitas matematika dalam fisika sedemikian terangnya
sehingga bermunculan teknologi yang luar biasa presisi, misalnya
komputer yang ada di depan anda. Perhatikan gambar 9. Rumus tersebut
adalah persamaan medan Einstein yang mendeskripsikan jagad raya kita di
masa Einstein. Abstraksi alam semesta ke dalam matematika merupakan
sebuah kecenderungan yang merupakan konsekuensi logis dari efektivitas
matematika dalam fisika. Lebih jauh, ini membawa pada Wheeler dan
Hawking (1988) yang bertanya: mengapa harus persamaan ini, bukannya
persamaan yang lain? Mengapa alam semesta kita diatur oleh rumus-rumus
yang ini bukannya rumus-rumus lain yang mungkin dibuat dan memang
bertebaran dalam jurnal-jurnal matematika murni?
Gambar 9: Persamaan Medan Einstein
Tegmark (1998) membagi hubungan antara matematika dan fisika dalam dua kategori:
- Dunia Fisika sepenuhnya matematis. Ada tiga kemungkinan dalam hal ini yaitu (a) segala yang ada secara matematis juga ada secara fisik, (b) sebagian yang ada secara matematis ada secara fisik, sementara sebagian tidak, dan (c) tidak ada yang ada secara matematis ada secara fisik.
- Dunia fisika tidak sepenuhnya matematis.
Sebagian
fisikawan tampaknya lebih percaya kalau dunia fisika tidak sepenuhnya
matematis, yaitu kategori 2, dan ia menyebut alasan agama termasuk dalam
kategori ini. Tuhan diperlukan agar sebagai God of the Gap
agar tetap ada kehendak bebas dalam dunia fisika. Kategori ini katanya
tidak memberikan kekuatan prediktif penuh dan disingkirkan dari
kemungkinan benar. Hal yang sama juga berlaku pada kemungkinan 1.c.
Kemungkinan
kalau segala hal yang ada secara matematis tidak seluruhnya ada secara
fisika (kategori 1.b) lebih masuk akal. Walau begitu kemungkinan ini
dikritik oleh Wheeler (1994), Nozick (1981), dan Weinberg (1992) karena
menyisakan pertanyaan seperti yang telah diajukan sebelumnya: mengapa
persamaan ini bukan yang lain? Mengapa struktur matematis dengan rasio
massa elektron proton 1836 ada sementara rasio 1996 tidak ada? Mengapa
manifold 3+1 harus ada sementara 27+5 tidak ada? Penjelasan yang lebih
sederhana, dan paling sederhana dari semua kesederhanaan, adalah
semuanya ada.
Tegmark (1998)
menjadikan pernyataan kalau “ada secara fisika adalah sama dengan ada
secara matematis”. Ada secara matematis sendiri adalah “keberadaan yang
bebas dari kontradiksi”. Dengan kata lain, apabila sesuatu struktur
konsisten secara matematis, maka ia ada di dunia nyata. Eksistensi fisik
ini berlaku pada struktur-struktur matematis yang independen dari cara
kita menjelaskannya. Hal ini menurutnya tidak jauh beranjak dari
multijagad tingkat 3. Pada multijagad tingkat 3, semua keadaan kuantum
yang mungkin dipandang ada secara fisik, namun hukum fisika tetap sama.
Pada multijagad tingkat 4, semua struktur matematis yang mungkin
dipandang ada secara fisik dan hukum fisika yang ada tidak mesti sama.
Eksistensi
fisika dari struktur matematis ini diturunkan dari beberapa teori
gravitasi kuantum. Gravitasi kuantum memungkinkan adanya berbagai metrik
dan topologi ruang waktu yang berbeda (Hawking, 1984; Isham, 1989).
Dari sekian banyak topologi dan metrik ruang waktu ini, tidaklah
beralasan kalau alam semesta kita hanya memiliki satu tipe topologi dan
satu tipe metrik. Topologi dan metrik lain konsisten dan memungkinkan
hukum fisika, walaupun berbeda dengan hukum fisika yang kita rasakan di
alam semesta kita. Hal ini juga didukung oleh keberadaan fisik tetapan
fisika yang berbeda dan keberadaan fisik dimensi ruang waktu yang
berbeda sebagai mana dalam multijagad tingkat 2 berbasis pada teori
inflasi (Linde dan Zelnikov, 1988), teori big bang (Wheeler, 1977),
teori lubang cacing (Coleman, 1988), dan teori superstring (Albrecht,
1994). Nielsen (1983), Froggatt dan Nielsen (1991), dan Nielsen, Rugh,
dan Surlykke (1994) bahkan telah membuat program komputer yang
mensimulasikan dunia-dunia yang diatur oleh persamaan-persamaan
matematika yang berbeda.
Teori
segalanya yang digagas Tegmark (1998) yang berbasis pada asumsi segala
yang konsisten secara matematis pasti ada di dunia nyata mengembalikan
makna probabilitas ke makna awalnya. Seperti yang telah diilustrasikan
sebelumnya dalam kemungkinan kartu di tangan anda, maka segala yang
mungkin (probabilitas tidak nol) adalah pasti, tentunya dengan ruang
kemungkinan yang tak terbatas. Dengan kata lain, multijagad adalah ruang
sampel bagi probabilitas apapun.
Penrose
(1989) memberikan contoh eksistensi matematis yang mewujud menjadi
eksistensi fisik lewat pembuatan android (robot yang direkayasa
sedemikian hingga fisiknya menyerupai manusia) yang memiliki kesadaran diri. Eksistensi diri yang dirasakan sang robot adalah murni matematis dari sudut
pandang program yang dibuat manusia penciptanya. Tetapi sang pembuat
maupun sang robot melihat bahwa eksistensi tersebut juga berupa
eksistensi fisik.
Tegmark (1998)
memberikan dukungan atas teorinya dengan memberikan kecenderungan lain
dalam sejarah fisika. Eddington (1920) menyebutkan kalau orang dahulu
mengatakan bahwa kapanpun ada cahaya, maka ada gelombang dalam medan
elektromagnetik. Fisika modern menunjukkan kalau cahaya itu sendiri
adalah gelombang dalam medan elektromagnet. Orang dahulu mengatakan
kalau kapanpun ada materi, ada gelombang dalam kelengkungan ruang waktu.
Fisika modern mengatakan kalau materi itu sendiri adalah gelombang
dalam kelengkungan ruang waktu. Orang dahulu menyatakan kalau kapanpun
ada eksistensi fisika, ada struktur matematika yang menopangnya. Tegmark
(1998) mengatakan kalau eksistensi fisika itu sendiri adalah struktur
matematika.
Apabila ada sebuah
struktur matematika yang konsisten, maka ada sebuah eksistensi fisika
dari struktur matematika tersebut. Dalam eksistensi fisika ini,
kemungkinan kalau ada mahluk cerdas (yang disebut sebagai SAS (Self-Aware Substructures)
oleh Tegmark) maka ia dapat bertanya mengapa alam yang ia tinggali
diatur oleh persamaan ini bukan yang lain. Pada dunia yang lebih tinggi,
multijagad tingkat 4, semua persamaan yang mungkin memiliki dunia
tersendiri yang diaturnya (ruang waktu Malament-Hogarth misalnya
(Piccinini, 2011)).
Agar struktur
matematis dapat eksis dalam realitas, ia harus konsisten dalam dirinya.
Konsistensi sendiri tidak menjamin eksistensi SAS (misalnya kita atau
program komputer). Sebuah struktur matematis memerlukan tiga syarat lagi
untuk dapat memiliki SAS yaitu kompleksitas, prediktabilitas, dan
stabilitas. Sebuah struktur matematis yang konsisten namun tidak cukup
kompleks, tidak terprediksi, atau tidak stabil, tidak dapat memungkinkan
keberadaan SAS. Prediktabilitas dan stabilitas telah disebutkan dalam
deskripsi mengenai multijagad level 2. Mengenai kompleksitas, yang
dimaksud disini adalah kompleksitas dari struktur matematis, bukan dari
dunia yang dihasilkannya. Kompleksitas sebuah struktur matematis
ditentukan oleh aksiomanya.
Aksioma
adalah sebuah pernyataan yang dipandang benar dengan sendirinya tanpa
bukti. Ia berbeda dengan konjektur atau hipotesis yang menunjukkan
sesuatu yang terlihat benar namun bukan merupakan pernyataan yang benar
dengan sendirinya. Ada banyak sekali aksioma yang menyusun matematika.
Aksioma pilihan misalnya mengatakan kalau ada satu himpunan yang
anggotanya himpunan tak kosong, maka ada setidaknya satu himpunan yang
mengandung tepat satu anggota yang merupakan anggota bersama dari semua
himpunan tak kosong tersebut (Moore, 1982). Hal ini tidak perlu
dibuktikan karena secara intuitif kita pasti tahu kalau pernyataan ini
benar.
Setiap struktur matematika
mengandung setidaknya satu aksioma sebagai landasan ia ditarik. Struktur
matematika paling sederhana adalah aljabar Boolean yang berada di
bagian paling bawah Gambar 10 sebelum sistem formal. Sistem formal
sendiri adalah kumpulan dari simbol dan aturan untuk membentuk aksioma,
dan aturan untuk membentuk teorema (turunan dari aksioma). Aljabar
Boolean terdiri dari empat aksioma, kalkulus predikat rendah terdiri
dari enam aksioma (empat berasal dari aljabar Boolean), dan teori
bilangan terdiri dari tujuh aksioma. Semakin banyak aksioma semakin
kompleks sebuah sistem matematika. Walau begitu, jumlah aksioma tidak
dapat terlalu banyak. Jika aksioma dalam suatu sistem matematika terlalu
banyak, maka sistem tersebut runtuh diri karena menjadi tidak
konsisten. Hal ini karena semakin banyak aksioma, maka semakin besar
kemungkinan muncul kontradiksi antar aksioma itu sendiri. Sebuah
struktur matematika yang cukup kompleks dengan aksioma yang tidak
terlalu banyak adalah struktur matematika yang dapat mengandung SAS.
Gambar
10: Peta Matematika berdasarkan Aksioma penyusunnya. Peta ini dapat
diperluas ke atas tak terbatas seiring berkembangnya ilmu matematika
murni (Tegmark, 1998)
Multijagad
tingkat 4 memiliki banyak kemungkinan yang lebih eksotis. Segala yang
mungkin konsisten, misalnya hal-hal yang digambarkan dalam film sains
fiksi, dapat ada. Mengenai kompleksitas seperti apa yang mengandung SAS,
setidaknya kita punya gambaran dari sejarah sains yang telah dibeberkan
di awal. Kita pernah merasa kita mampu hidup dalam ruang dimensi 3
(kotak Rn dalam Gambar 10 untuk n=3). Lalu kita juga pernah
merasa mampu hidup dalam ruang manifold 3+1 dengan medan tensor (bagian
atas dibawah Relativitas Umum). Terakhir kita juga merasa mampu berada
dalam dunia aljabar medan (kotak teori medan kuantum yang ada di pojok
kanan atas). SAS lain mungkin ada di dunia dengan struktur matematis
himpunan Mandelbrot, oktahedron, busa Menger, bola, torus, jagad datar,
jagad terbuka, ruang simpul dan sebagainya. Intinya, pada multijagad
tingkat 4, segala struktur matematika yang konsisten memiliki dunianya
sendiri-sendiri.
Dengan adanya
multijagad tingkat 4, sempurnalah prinsip kesederhanaan. Tidak ada yang
lebih sederhana dari segalanya mungkin. Segala yang bisa ada maka ada,
itulah multijagad sempurna. Jadi, dimana Tuhan?
Lanjut Part 10
Referensi
Albrecht, A, 1994. The Theory of Everything vs the Theory of Anything. in The Birth of the Universe and Fundamental Forces, ed. F. Occionero. Berlin: Springer, Berlin
Coleman, S. 1988. Why there is nothing rather than something: A theory of the cosmological constant. Nuclear Physics B, 307, 867
Eddington, A. 1920. Space, Time, and Gravitation. Cambridge: Cambridge University Press.
Froggatt, C.D., Nielsen, H.B. 1991. Origin of Symmetries. Singapore: World Scientific.
Hawking, S.W. 1984. The Quantum State of the Universe. Nuclear Physics B, 244, 135
Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books
Isham, C.J. 1989. Quantum topology and quantisation on the lattice of topologies . Classical and Quantum Gravity, 6, 1509
Linde, A.D., & M. I. Zelnikov, 1988. Inflationary Universe with Fluctuating Dimension. Physics Letter B, 215, 59
Moore, G. H. 1982. Zermelo’s Axiom of Choice: Its Origin, Development, and Influence. New York: Springer-Verlag
Nielsen, H.B. 1983. Field theories without fundamental gauge symmetries. Phil. Trans. Royal Soc. London, A310, 261
Nielsen,
H.B., S. E. Rugh & C. Surlykke, 1994. Seeking Inspiration from the
Standard Model in Order to Go Beyond it. hep-th/9407012
Nozick, R. 1981. Philosophical Explanations. Cambridge: Harvard University Press.
Penrose, R. 1989. The Emperor’s New Mind. New York: Touchstone
Piccinini, G. 2011. The Physical Church-Turing Thesis: Modest or Bold. British Journal for the Philosophy of Science.
Tegmark, M. 1998. Is “The Theory of Everything” Merely the Ultimate Ensemble Theory? Annals of Physics, 270, 1-51
Tegmark, M. 2007. The Mathematical Universe. arXiv 0704.0646 [gr-qc], Foundations of Physics
Weinberg, S. 1992. Dreams of a Final Theory. New York : Pantheon.
Wheeler, J.A. 1994. At Home in the Universe. New York: AIP
sumber : www.faktailmiah.com
0 comments :
Post a Comment